dottcom.id, Denpasar – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) berpartisipasi pada acara “ASEAN Conferences on the Prevention and Response to the misuse of Financial Service Providers in Child Sexual Exploitation” yang diselenggarakan di Denpasar, 7 – 8 Agustus 2024.
Pemilihan Denpasar sebagai lokasi penyelenggaraan tidak lepas dari predikat kota ramah perempuan dan peduli anak berdasarkan evaluasi perlindungan anak dan kesetaraan gender oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).
Dalam acara ini, Direktur Strategi dan Kerja Sama Internasional PPATK, Diana Soraya Noor, menjadi salah satu pembicara utama dalam sesi pleno.
Ia membawakan materi dengan tema praktik mendeteksi dan melaporkan dugaan transaksi terkait eksploitasi seksual anak di Indonesia.
Ia juga menjelaskan mengenai berbagai studi kasus, temuan red flag transaksi yang terkait dengan eksploitasi seksual anak, hingga tantangan dan terobosan yang kini sedang dilakukan PPATK.
“Pola transaksi yang terkait dengan eksploitasi seksual anak yaitu, dana berasal dari banyak pihak kepada satu pihak, dana yang masuk dari dalam dan luar negeri jumlahnya relatif tidak signifikan, menggunakan remitansi, payment gateway, e-wallet, transfer bank, bahkan aset kripto,” ujar Diana.
Acara ini dibuka oleh Koordinator Nasional ECPAT Indonesia, Ahmad Sofian dan dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan seperti Kementerian, Lembaga, Pemerintah Daerah, Aparat Penegak Hukum, Penyedia Jasa Keuangan, Masyarakat, Organisasi Internasional, dan Akademisi.
Dalam sambutannya, Ahmad Sofian menyampaikan bahwa konferensi ini sangat penting selain untuk meningkatkan kesadaran mengenai penyalahgunaan jasa keuangan dalam eksploitasi seksual anak, namun sekaligus juga menjelaskan situasi, formula, dan rekomendasi yang tepat untuk mencegah dan memberantas eksploitasi seksual anak di kawasan ASEAN.
“Harapan agar forum ini menjadi wadah diskusi yang konstruktif, saling berbagi pengalaman di bidang pencegahan dan pemberantasan eksploitasi seksual anak dan mampu merumuskan rekomendasi kebijakan terbaik untuk menanggulangi eksploitasi tersebut”, jelasnya.
Bersamaan dengan kegiatan plenary meeting, diadakan konferensi pers gabungan yang terdiri dari PPATK, KemenPPPA, ECPAT Indonesia, ECPAT Internatsional, ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC), dan Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUPIKI).
Dalam konferensi pers, Ketua Tim Hubungan Masyarakat PPATK, M. Natsir Kongah menyebutkan bahwa dugaan prostitusi anak berjumlah sekitar 24.000 anak di rentang usia 10-18 tahun dengan frekuensi transaksi mencapai 130.000 kali dan nilai perputaran uang mencapai Rp127.371.000.000.
“Dampak eksploitasi seksual anak sangat membahayakan generasi muda penerus bangsa, karena itulah PPATK berharap upaya memerangi eksploitasi seksual anak menjadi komitmen bersama seluruh pihak, termasuk seluruh komponen masyarakat,” tegas Natsir.
Langkah strategis PPATK dalam mencegah dan memberantas transaksi terkait eksploitasi seksual anak diwujudkan dalam bentuk menginisiasi kajian regional untuk memetakan dan mengembangkan indikator red flag dari transaksi keuangan mencurigakan yang terkait dengan eksploitasi seksual anak.
Kajian ini merupakan bagian dari proyek strategis Financial Intelligence Consultative Groups (FICG) di tahun 2024-2025 dengan tujuan sebagai panduan bagi penyedia jasa keuangan dalam mengidentifikasi transaksi terkait eksploitasi seksual anak.
FICG sendiri merupakan himpunan lembaga intelijen keuangan di kawasan Asia Tenggara, Australia, Selandia Baru, hingga negara-negara di kawasan Pasifik.